Selasa, Mei 05, 2009

Jika Aku Menjadi

Hhhm…. Aku masih teringat dengan jelas salah satu episode reality show “Jika Aku Menjadi” di Trans TV yang menceritakan kisah seorang mahasiswa yang mencoba merasakan menjadi seorang warga Dlingo, Bantul yang kesulitan air. Bagaimana harus berkilo-kilometer berjalan demi sepikul air. Responku waktu itu biasa saja. Tidak tergetar ataupun terharu. Tapi perjalananku kali ini membuatku mengerti dan tersadar akan makna seember air yang kadang kubiarkan terbuang sia-sia…


Per tanggal 1 Mei 2009 kemarin aku resmi menjadi Guru di lingkungan Departemen Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Gunung Kidul di UPT SMP 3 Girisubo. Ada yang tahu di mana sekolahku itu? SMP N 3 Girisubo terletak di dusun Joho, Kalurahan Songbanyu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Mungkin banyak diantara sobat semua yang belum tahu dimanakah itu. Yups, akupun sewaktu pertama kali mencarinya juga setengah mati susahnya….

Girisubo adalah Kecamatan baru hasil pemekaran Kecamatan Tepus. Kecamatan Girisubo adalah kecamtan paling ujung milik Pemkab Kunung Kidul. Disebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Rongkop, sebelah Timur dengan Kecamatan Pracimantoro dan Parang Gupito Kabupaten Wonogiri, sebelah Selatan adalah Samudera Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tepus. Dari Ibukota Gunungkidul, Wonosari, jaraknya kurang lebih 55 Km jika lewat Semanu dan Rongkop. Kalau lewat Pracimantoro lebih jauh lagi. Penduduknya yang berjumlah 27.290 jiwa menggantungkan hidup dari bertani palawija, beternak, maupun sebagai nelayan.


Sekolahku terletak di Kelurahan Songbanyu. Dari namanya sudah kelihatan artinya kan? Mungkin banyak yang mengkonotasikan Songbanyu dengan “Kosong Banyu” alias nggak ada air. Padahal Songbanyu sebenernya berarti “Tebing Berair”. Tapi dalam kenyataannya, air adalah komoditas langka di Songbanyu. Kalaupun melimpah, itu pas musim penghujan saja. Kalau musim kemarau, benar-benar tak ada air disana. Untuk menyambung hidup, biasanya penduduk membeli air dari mobil tangki air (6.000 liter) dengan kisaran harga Rp. 120.000 – Rp. 150.000 tergantung jarak dari jalan raya. Biarpun disana terhubung pipa-pipa PDAM, tetapi itu tak mampu mencukupi kebutuhan air penduduknya. Air yang mengalir seminggu sekali selama beberapa jam dan kondisi air yang tak layak konsumsi semakin menambah parah keadaan. Ironis sekali. Dibawah tanah Songbanyu sebenarnya tersimpan berjuta kubik meter air yang mampu untuk mencukupi kebutuhan air seluruh penduduknya. Ini disebabkan Songbanyu terletak di tebing Bengawan Solo Purba. Sungai prasejarah yang menampung air di dalam perut buminya. Masyarakat pantai Sadeng yang dahulunya adalah muara Bengawan Solo Purba berlimpah air tawar. Cukup hanya menggali 3-6 meter saja! Teknologilah yang menjadi kendalanya. Belum ada solusi bagaimana cara mengangkat dan mendistribusikan air untuk kampung-kampung yang berjarak 4-6 Km dari Bengawan Solo Purba. Semoga kelak salah satu anak didikku ada yang mampu mewujudkan mimpi masyarakat desanya untuk selalu kecukupan air setiap saat. Semoga…


Sedikit Catatan Tambahan…

Aku tak bisa membayangkan tempatnya, Sob… aku juga gak pernah kebayang masih ada tempat seperti itu di Jogja. Bayangkan, dari halaman rumahku sampai halaman sekolah jarknya 109 Km! brrr… Seperti jarak Jogja-Semarang saja. Jalanan Gunungkidul yang bak rollercoaster itu bukan kendala bagiku. Malahan aku mulai menikmati

meliuk-liuk di jalanan yang tiada hambatan itu. Yang sedikit kurang nyaman hanyalah letak sekolahku. Dari jalan raya (Jl. Girisubo-Pracimantoro) masih masuk kurang lebih 5 km membelah kampung dan hutan yang silih berganti. Jalannya bukan aspal, sob, melainkan hanya coneblock/cor. Sekolahnya kecil (karena merupakan sekolah rintisan sejak 2007/2008) dan berada di tengah bukit. Jangan berharap bisa nonton TV disini, apalagi kirim SMS

atau telpon-telponan. Karena inilah wilayah tanpa sinyal apapun! Awalnya aku juga kaget dan merasa berat. Tapi setelah dijalani akhirnyaenjoy juga. Binatang-binatang kayaknya juga masih banyak. Masak siang-siang ada kalong segede gambreng terbang diatas sekolah. Waksss…

Yang disini juga gak ada adalah air. Air ngandalin beli dari mobil tangki kalo pas musim kemarau. Mau ke warung? Santai… ada kok. Cuma berjarak 5 km membelah hutan!

Hahaha… Warung makan? Ada lah! Cuma 7 km membelah hutan n bukanya seminggu 2 kali doang! Hahahaa…. Tambal ban? Ada! 5 km dari sini naik turun jalanan terjal. Fotocopy? Iiiiihh… ada lah! Deket kok… cuman 4 km aja! Kalo mau ke warnet jauh gak? Deket kok… tinggal pilih mau ke Pracimantoro apa Wonosari. Kalo mau warnet yang speed-nya pelan kayak keong ya ke Pracimantoro aja. Deket kok, cuma 20 Km. nah, kalo warnet yang lumayan cepet n skalian liat keramaian ya ke Kota Wonosari. Deket juga kok, cuma 55 Km doang!

Tapi jangan cuma liat susah-susahnya doang, Sob! Hidup disini juga banyak hal lain yang patut disyukuri. Selain penduduknya ramah-ramah, alamnya juga indah! Mau ke pantai? Yang terdekat ke Sadeng dengan jarak 4 km. Disana bisa beli macem-macem ikan. Tuna fresh dilepas Rp. 15.000/kg. Murah kan? Mau menyendiri dan mencari inspirasi? Pergi ke pantai Parang Gupito aja. Indah banget! Perlu wisata kuliner yang lumayan beda? Dolannya wajib ke Pasar Pracimantoro. Banyak makanan ajib di sana, tentu saja harganya juga murah nian! Yang seneng mancing, ada Pantai Wediombo, surganya mancing karangan. Bonusnya adalah view luar biasa dari Bengawan Solo Purba. Yang bawa camdig pasti pengen jeprat-jepret pe memorinya mentok! Dan jangan lupa… semuanya free of charge alias gratis! Kerja disini juga lumayan. Selain biaya hidup murah, tempat buat menghamburkan uang juga minim banget. Paling buat beli ikan doang. Itu juga gak seberapa. Ada yang mau mengikutiku? Ini fasilitasnya:

  1. Gaji pokok
  2. Tunjangan keterasingan
  3. tunjangan ketiadaan sinyal tv dan hp
  4. tunjangan ketakutan keluar di waktu malam
  5. tunjangan tidak terjangkaunya surat kabar
  6. tunjangan lain-lain (tak terbatas, terserah yang pengen ditunjang)

Bersih setiap bulan kira-kira memperoleh pendapatan cukup buat hidup dengan bonus keterbukaan pada dunia, interaksi yang bagus dengan Tuhan, jauh dari orientasi bondho-isme dan hura-hura-isme, kebahagiaan tak terduga, dan nilai-nilai hidup baru yang tak ternilai harganya. Tinggal di tempat terpencil tidak harus berkecil hati. Tidak harus kehilangan informasi. Gemerlap lampu kota berganti kunang-kunang. Hiruk pikuk suara jalanan berganti derik jangkrik. Gadget nggak penting disini. Asal ada kemauan, harapan untuk bertahan pasti tumbuh dengan sendirinya. Aku nggak malu dibilang berperadaban mundur. Terserah mo dibilang jadi orang prasejarah atau apaan. Tapi di tempat baruku ini ku temukan bibit-bibit pelajaran dan pengetahuan. Juga aroma laut dan petualangan. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk mengurai makna hidup yang sesungguhnya. Jauh dari hedonisme, jauh dari egoisme. Mungkin sekarang memang sudah saatnya kita KEMBALI KE TIMUR...


blogger templates 3 columns | Make Money Online